BENTUK SANKSI DALAM HUKUM ADMINISTRASI

Sanksi-sanksi
merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, juga dalam hukum
administrasi. Pada umumnya tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban
atau larangan bagi para warga di dalam peraturan perundang-undangan tata usaha
negara, manakala aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh
tata usaha negara (dalam hal dimaksud diperlukan). Peran penting pada pemberian
sanksi di dalam hukum administrasi sesuai dengan ketentuan hukum pidana. kebanyakan
sistem perizinan menurut perundang-undangan memuat ketentuan penting yang
melarang para warga bertindak tanpa izin. Demikian misalnya Pasal 47 ayat 1
Woningwet Negeri Belanda menentukan: “Dilarang mendirikan bangunan tanpa atau
menyimpang dari izin tertulis walikota dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Kota pradja berkenaan dengan izin mendirikan bangunan”. Pada tempat lain di
dalam undang-undang biasanya dapat kita temukan sanksi-sanksi pidana tertentu
(lihat misalnya Pasal 95 dan 98 Woningwet Negeri Belanda). Bagi pembuat
peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-tindakan yang
bertentangan tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada
suatu izin, termasuk sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas, antara lain
seperti, paksaan pemerintah (Bestuursdwang), penarikan kembali keputusan
atau ketetapan yang menguntungkan atau izin pembayaran subsidi, pengenaan denda
administratif, dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Bestuursdwang dapat
diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata (fertelijke handeling)
dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah
hukum administrasi atau bila masih melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan
oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang. Hal itu membedakan bestuurdwang
dengan sanksi tindakan penguasa dengan cara yang amat langsung.
Sanksi-sanksi lainnya lebih berperan secara tidak langsung (werken meer
indirect). Pengenaan denda administratif (terutama terkenal dalam hukum
pajak) menyerupai penggunaan suatu sanksi pidana. Pertimbangan-pertimbangan
kebijaksanaan yang terutama membenarkan pada sejumlah kasus terbatas tata usaha
negara dapat beralih pada pengenaan denda. Selain itu pengenaan uang paksa oleh
badan tata usaha negara juga merupakan suatu sanksi modern yang juga dapat
menjadi salah satu alternatif dari penerapan bestuursdwang. Selain itu
dalam hukum administrasi pejabat/badan tata usaha negara yang membuat suatu
produk keputusan tata usaha negara juga dapat menerapkan sanksi penarikan
kembali keputusan atau ketetapan yang telah dibuat baik seperti penarikan izin,
penarikan pembayaran maupun pemberian subsidi secara berkala.
Berdasarkan
uraian di atas maka pertanyaan sejauh mana penerapan sanksi-sanksi oleh tata
usaha negara menjadi sangat penting. Sanksi yang diterapkan harus senantiasa
diadakan atas dasar peraturan perundang-undangan yang tegas. Bagi pengenaan
denda administratif dan uang paksa bersifat mutlak (tanpa syarat) dan harus
atas dasar peraturan perundang-undangan yang tegas. Sedangkan penerapan bestuursdwang
memiliki sedikit perbedaan, apabila dilihat dari sudut pandang sejarah, di masa
lalu dengan sendirinya dianggap bahwa tata usaha negara bertugas mengambil
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyesuaikan keadaan nyata dengan apa
yang telah ditetapkan oleh undang-undang, bila warga melalaikannya. Maka dapat
dikatakan bahwa kewenangan bestuurdwang merupakan konsekuensi dari tugas
pemerintah, yakni kenyataan bahwa suatu badan tata usaha negara telah dibebani
tugas guna melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan. Badan pemerintah
itu dan bukan yang lain memiliki kewenangan bestuurdwang. Seperti yang
terjadi di Belanda, telah lama terdapat situasi bahwa untuk semua hal yang
dapat dibayangkan, kewenangan bestuurdwang diatur oleh undang-undang.
Lambat laun, oleh karena kewenangan bestuurdwang selalu diatur di dalam
berbagai undang-undang maka dapat ditetapkan bahwa bestuursdwang hanya
dapat diterapkan manakala untuk itu terdapat kewenangan yang diberikan dengan
tegas oleh suatu perundang-undangan. Pada dewasa ini, suatu badan tata usaha
negara tidak lagi begitu saja menegaskan bahwa ia berwenang menjalankan bestuursdwang
manakala wewenang dimaksud tidak berdasarkan pada undang-undang.
Sedangkan
penarikan kembali suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan tidak
terlalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal itu tidak
termasuk apabila keputusan (ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak
tertentu dan menurut sifatnya “dapat diakhiri” atau ditarik kembali (izin,
subsidi berkala). Tanpa suatu dasar peraturan perundang-undangan yang tegas
untuk itu, penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku surut. Hal itu
akan bertentangan dengan asas hukum. Pada kebanyakan undang-undang modern,
kewenangan penarikan kembali (sebagai sanksi) diatur dengan tegas.
Pelaksanaan
suatu sanksi pemerintah berlaku sebagai suatu keputusan (ketetapan) yang
memberi beban (belastende beschikking). Hak itu membawa serta hakikat
(sifat) dari sanksi. Bagi jenis tindakan-tindakan penguasa terkandung secara
khusus adanya asas kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel) dalam makna asas
umum pemerintahan yang layak. Dengan cermat harus ditetapkan pada titik-titik
mana seorang warga dipandang telah lalai. Hampir selalu, seorang warga harus
terlebih dahulu diberi kesempatan memberikan pandangannya dan jika perlu
menjelaskan mengapa ia lalai (asas pembelaan). Hanya dalam hal-hal tidak ada
penangguhan tindakan tata usaha negara yang dapat dipertanggungjawabkan, tata
usaha negara dapat dan harus segera bertindak (tanpa terlebih dahulu memberitahu
pada warga dan memberi kesempatan padanya untuk mengajukan pembelaan). Terhadap
sanksi-sanksi administrasi bagi warga senantiasa harus terdapat kemungkinan
untuk mengajukan banding pada hakim (administratif). Hakim bertugas memeriksa
apakah benar adanya pelanggaran oleh warga dan apakah sanksinya benar sesuai
dengan asas-asas pemerintahan yang layak.
Perbedaan
antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari tujuan
pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan
pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan
memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan
pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah reparatoir yang berarti
memulihkan pada keadaan semula. Selain itu perbedaan antara sanksi pidana dan
sanksi administrasi terletak pada tindakan penegakan hukumnya. Sanksi
administrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui
prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim
pidana melalui proses peradilan.
Pengenaan sanksi-sanksi hanya mungkin apabila badan tata usaha negara mengetahui adanya pelanggaran-pelanggaran nyata atas peraturan perundang-undangan. Hal itu tidak terjadi dengan sendirinya, oleh karena itu tata usaha negara mempekerjakan pegawai-pegawai yang tugasnya untuk mengadakan pengawasan (disebut juga kontrol). Pegawai-pegawai pengawas di negeri Belanda biasanya merupakan bagian di luar dinas, tetapi hal itu tidak mutlak.
Pengawas sebagaimana dimaksudkan di atas, di dalam praktik merupakan syarat bagi dimungkinkannya pengenaan sanksi. Sekaligus menurut pengalaman, pelaksanaan dari pengawasan itu sendiri telah mendukung penegakan hukum (handhaving). Para warga melihat bahwa penguasa dengan sungguh-sungguh menegakkan peraturan perundang-undangan. Pengawasan yang dilakukan oleh para pegawai pengawasan dilakukan melalui penyuluhan, anjuran, bujukan, peringatan dan nasihat yang biasanya dapat mencegah terjadinya suatu keadaan pengenaan sanksi tak dapat dihindari. Bagi pengadaan pengawasan atau kontrol itu sendiri tidak perlu terdapat dugaan terjadinya suatu perbuatan pidana. Suatu pengawasan secara pengujian yang disertai contoh (steekproef) merupakan hal yang dapat terpikirkan dengan baik. Kebanyakan pengawasan ditujukan pada perusahaan-perusahaan, proses-proses produksi dan pengangkutan (transportasi) karena banyak peraturan perundang-undangan yang berkait dengan itu. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia sendiri yang terdapat pada Pasal 6 ayat 1 huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah ditetapkan bahwa yang dimaksud petugas penyidik yang berhak melakukan pengawasan adalah polisi dan pegawai negeri sipil tertentu.
Penulis: M. Iip Wahyu Nurfallah
Komentar
Posting Komentar